Swara Gapura
Sosialisasi Sadar Hukum dan Penyampaian Informasi Publik Anggaran Dana Desa (ADD) Tahun 2025 digelar di Aula Desa Sindangmukti, Kecamatan Panumbangan, Kabupaten Ciamis, Kamis (30/10/2025).
Kegiatan ini menghadirkan Ketua Ikatan Penulis Jurnalis Indonesia (IPJI) Kabupaten Ciamis, M. Rifa’i, sebagai pemateri utama. Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya peran organisasi profesi bagi para jurnalis.
Menurut Rifa’i, IPJI merupakan wadah resmi yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999. “Media harus memiliki rumah, dan jurnalis wajib bernaung dalam organisasi yang sah. Jika ada jurnalis tanpa organisasi, berarti ia tidak patuh terhadap hukum,” tegasnya.
Ia menjelaskan, IPJI Ciamis telah berdiri selama 15 tahun dan kini memiliki 28 anggota aktif. Lebih dari sekadar tempat berhimpun, organisasi profesi berperan sebagai wadah untuk berkontribusi bagi negara. “Saat pandemi COVID-19, kami turut membantu pelaksanaan vaksinasi bersama pemerintah,” ungkapnya.
Rifa’i juga menambahkan, IPJI terus menjalin kolaborasi dengan pemerintah daerah, kecamatan, dan desa guna memperkuat sinergi antara jurnalis dan aparatur desa agar saling memahami fungsi dan perannya masing-masing.
Bahas Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
Dalam kesempatan tersebut, Rifa’i turut membahas pentingnya Kode Etik Jurnalistik (KEJ) sebagai pedoman dalam menjalankan tugas. Menurutnya, profesi jurnalis tidak bisa dilakukan sembarangan karena setiap karya jurnalistik harus berlandaskan kode etik.
“Organisasi bukan hakim bagi jurnalis. Yang berwenang mengadili adalah Dewan Pers. Karena itu, wartawan wajib menaati kode etik di setiap liputan,” jelasnya.
Ia menekankan pentingnya prinsip cover both sides dalam pemberitaan dan mencontohkan penerapannya pada kasus keracunan makanan yang sempat ramai diberitakan di media.
Waspadai Dampak Digital dan UU ITE
Selain itu, Rifa’i mengingatkan peserta tentang tantangan di era digital. “Produk jurnalistik berbeda dengan produk media sosial. Karya jurnalistik bisa dipertanggungjawabkan, sementara konten di TikTok atau Facebook sering tanpa verifikasi,” ujarnya.
Ia juga menegaskan pentingnya kehati-hatian terhadap Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Jangan asal unggah atau sebarkan informasi tanpa mengecek kebenarannya, karena bisa berujung pada pelanggaran hukum,” pesannya.
Rifa’i turut menyoroti maraknya penyalahgunaan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI) yang dapat memanipulasi foto secara ekstrem. “Foto berpakaian bisa diedit menjadi tidak senonoh. Karena itu, kita harus melek digital agar tidak mudah tertipu,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap penipuan daring dan penyalahgunaan data pribadi. “Jangan merasa aman hanya karena tidak terlihat. Dunia digital penuh jebakan,” tambahnya.
Dalam konteks jurnalistik, Rifa’i menegaskan bahwa penggunaan foto harus memperhatikan etika. “Jurnalis tidak boleh sembarangan memuat foto seperti halnya di media sosial,” katanya.
Peserta Antusias Ikuti Sosialisasi
Di akhir pemaparan, Rifa’i menjelaskan isi Kode Etik Jurnalistik yang terdiri dari 11 pasal secara rinci agar peserta memahami batasan dan tanggung jawab seorang jurnalis. Kegiatan berlangsung interaktif, dan peserta tampak antusias mengikuti setiap sesi, terutama saat membahas perbedaan antara karya jurnalistik, konten digital, dan isu hukum siber yang semakin kompleks. (SG.W-028/mon)
