Swara gapura
Akhir Agustus 2025 menjadi salah satu periode paling bergejolak dalam perjalanan politik Indonesia pasca-reformasi. Ratusan ribu massa turun ke jalan di berbagai daerah, dari Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Makassar, Bali, hingga kota-kota menengah seperti Kediri dan Pati. Gelombang protes ini berawal dari isu yang tampak sederhana: tunjangan perumahan anggota DPR senilai Rp50 juta per bulan. Namun, bagi banyak warga, isu tersebut menjadi simbol ketimpangan sosial dan ketidakpekaan elit politik terhadap kesulitan masyarakat.
Dari Isu Tunjangan ke Kemarahan Nasional
Kabar tunjangan jumbo DPR mencuat di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil. Harga kebutuhan pokok melonjak, pengangguran masih tinggi, dan beban pajak daerah naik di sejumlah wilayah. Ketika isu itu tersebar luas di media sosial, amarah publik seolah menemukan sumbunya.
Puncaknya, aksi protes di Jakarta menelan korban jiwa. Seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan (21), tewas setelah tertabrak kendaraan taktis Brimob saat demonstrasi berlangsung. Peristiwa ini bukan hanya memicu simpati luas, tetapi juga memperbesar gelombang protes. Affan kemudian dijadikan simbol perlawanan publik terhadap arogansi kekuasaan.
Api yang Menyebar ke Daerah
Demonstrasi cepat menyebar ke berbagai kota. Di Makassar, gedung DPRD dibakar massa, menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Di Surabaya, Yogyakarta, dan Bali, bentrokan antara demonstran dan aparat berulang kali terjadi. Di media sosial, tagar #ReformasiDikorupsiJilid2 dan #AffanAdalahKita mendominasi percakapan, memperlihatkan betapa luas resonansi protes ini.
Respons Pemerintah dan Elit Politik
Pemerintah bergerak cepat. Presiden Prabowo Subianto membatalkan agenda luar negeri dan mengumumkan pemangkasan sejumlah fasilitas DPR. Ia juga memerintahkan penyelidikan terhadap insiden tewasnya Affan dan kasus-kasus kekerasan aparat. Namun langkah itu dinilai sebagian pihak terlambat, sebab gelombang ketidakpuasan publik sudah terlanjur meluas.
Sejumlah pengamat menilai, protes kali ini tidak sekadar tentang tunjangan DPR. Ia adalah akumulasi kekecewaan publik terhadap cara elit mengelola negara, mulai dari kebijakan pajak yang memberatkan, hingga ratifikasi undang-undang yang dinilai tidak pro-rakyat, seperti revisi UU TNI pada awal tahun.
Dampak Ekonomi dan Sosial
Ketidakstabilan politik segera berdampak pada ekonomi. Rupiah melemah terhadap dolar AS, pasar saham mengalami tekanan, dan investor menahan diri. Di ranah digital, TikTok bahkan menonaktifkan fitur siaran langsung di Indonesia untuk mencegah penyebaran konten kekerasan dari lapangan.
Di sisi sosial, banyak komunitas sipil menyuarakan kekhawatiran terhadap pola kekerasan aparat dalam menangani demonstrasi. Lembaga HAM nasional maupun internasional mulai menyoroti kasus ini, sementara simpati juga datang dari tokoh-tokoh dunia dan selebriti mancanegara.
Gelombang Baru Reformasi ?
Bagi sebagian pengamat, demonstrasi Agustus 2025 mengingatkan pada gelombang reformasi 1998. Meski konteksnya berbeda, pola akumulasi kemarahan publik dan pecahnya aksi serentak di berbagai daerah menandai adanya krisis legitimasi politik.
Apakah gelombang ini akan surut atau justru berkembang menjadi gerakan sosial lebih besar, masih menjadi tanda tanya. Namun yang jelas, tuntutan publik kini tidak lagi hanya soal pemangkasan tunjangan DPR, tetapi menyangkut pembenahan menyeluruh terhadap sistem politik dan gaya kepemimpinan di Indonesia. (SG.W-007)
